Sore itu, aku gerah sekali. Aku mengenakan kain sarung. Biasa itu aku
lakukan untuk mengusir rasa gerah. Semua keluargatau itu. Kali ini
seperti biasanya aku mengenakan kain sarung tanpa baju seperti biasanya,
hanya saja kali ini aku tidak mengenakan CD.
“Wandy (nama samaran)…ibu pergi dulu ya. Temani Shindy, ya,” ibu kosku setengah berteriak dari ruang tamu.
“Ok…bu!”jawabku
singkat. Aku duduk di tempat tidurku sembari membaca novel Pramoedya
Ananta Toer. AKu mendengar suara pintu tertutup dan Shindy menguncinya.
Tak lama Shindy datang ke kamarku. Dia hanya memakai minishirt. Mungkin
karean gerah juga. Terlihat jelas olehku, teteknya yang mungil baru
tumbuh membayang. Pentilnya yang aku rasa baru sebesar beras menyembul
dari balik minishirt itu. Shindy baru saja mandi. Memakai celana
hotpant. Entah kenapa, tiba-tiba burungku menggeliat. Saat Shindy
mendekatiku, langsung dia kupeluk dan kucium pipinya. Mencium pipinya,
sudah menjadi hal yang biasa. Di depan ibu dan ayahnya, aku sudah
beberapa kali mencium pipinya, terkadang mencubit pipi montok putih
mulus itu.
Shindy pun kupangku. Kupeluk dengannafsu. Dia diam
saja, karen tak tau apa yang bakal tejadi. Setelah puas mencium kedua
pipinya, kini kucium bibirnya. Biobir bagian bawah yang tipis itu
kusedot perlahan sekali dengan lembut. Shindy menatapku dalam diam. Aku
tersenyum dan Shindy membalas senyumku. Shindy berontak sat lidahku
memasuki mulutnya. Tapi aku tetap mengelus-elus rambutnya.
“Ulurkan lidahmu, nanti kamu akan tau, betapa enaknya,” kataku berusaha menggunakan bahasa anak-anak.
“Ah…jijik,”katanya.
Aku terus merayunya dengan lembut. Akhirnya Shindy menurutinya. Aku
mengulum bibirnya dengan lembut. Sebaliknya kuajari dia mkenyedot-nyedot
lidahku. Sebelumnya aku mengatakan, kalau aku sudah sikat gigi.
“Bagaimana,
enak kan?” kataku. Shindy diam saja. Aku berjanji akan memberikan yang
lebih nikmat lagi. Shindy mengangukkan kepalanya. Dia mau yang lebih
nikmat lagi. Dengan pelan kubuka minishirt-nya.
“Malu dong kak?”
katanya. Aku meyakinkannya, kalau kami hanya berdua di rumah dan tak
akan ada yang melihat. Aku bujuk dia kalau kalau mau tau rasa enak dan
nanti akan kubawa jajan. Bujukanku mengena. Perlahan kubuka
minishirt-nya. Bul….buah dadanya yang baru tumbuh itu menyembul. Benar
saja, pentilnya masih sebesar beras. Dengan lembut dan sangat hati-hati,
kujilati teteknya itu. Lidahku bermain di pentil teteknya. Kiri dan
kanan. Kulihat Shindy mulai kegelian.
“Bagaimana…enakkan? Mau diterusin atau stop aja?” tanyaku. Shindy hanya tersenyum saja.
Kuturunkan
dia dari pangkuanku. Lalu kuminta dia bertelanjang. Mulanya dia
menolak, tapi aku terus membujuknya dan akupun melepaskan kain sarungku,
hingga aku lebih dulu telanjang. Perlahan kubuka celana pendeknya dan
kolornya. Lalu dia kupangku lagi. Kini belahan vaginanya kurapatkan ke
burungku yang sudah berdiri tegak bagai tiang bendera. Tubuhnya yang
mungil menempel di tubuhku. Kami berpelukan dan bergantian menyedot
bibir dan lidah. Dengan cepat sekali Shindy dapat mempelajari apa yang
kusarankan. Dia benar-benar menikmati jilatanku pada teteknya yang
mungil itu.
“Shindy mau lebih enak lagi enggak?” tanyaku.
Lagi-lagi Shindy diam. Kutidurkan dia di atas tempat tidurku. Lalu
kukangkangkan kedua pahanya. Vagina mulus tanpa bulu dan bibir itu,
begitu indahnya. Mulai kujilati vaginanya. Dengan lidah secara lembut
kuarahkan lidahku pada klitorisnya. Naik-turun, naik-turun. Kulihat
Shindy memejamkan matanya.
“Bagaimana, nikmat?” tanyaku.
Lagi-lagi Shindy yang suka grusah grusuh itu diam saja. Kulanjutkan
menjilati vaginanya. Aku belum sampai hati merusak perawannya. Dia harus
tetap perawan, pikirku. Shindy pun menggelinjang. Tiba-tiba dia minta
berhenti. Saat aku memberhentikannya, dia dengan cepat berlari ke kamar
mandi. Aku mendengar suara, Shindy sedang kencing. AKua mengerti, kalau
Shindy masih kecil. Setelah dia cebok, dia kembali lagi ke kamarku.
Shindy
meminta lagi, agar teteknya dijilati. Nanti kalau sudah tetek di
jilati, ***** Shindy jilati lagi ya Kak? katanya. Aku tersenyum. Dia
sudah dapat rasa nikmat pikirku. Aku mengangguk. Setelah dia kurebahkan
kembali di tempat tidur, kukangkangkan kedua pahanya. Kini burungku
kugesek-gesekkan ke vaginanya. Kucari klitorisnya. Pada klitoris itulah
kepala burungku kugesek-gesekkan. Aku sengaja memegang burungku, agar
tak sampai merusak Shindy. Sementara lidahku, terus menjilati puting
teteknya. Aku merasa tak puas. Walaupun aku laki-laki, aku selalu
menyediakan lotion di kamarku, kalau hari panas lotion itu mampu
mengghilangkan kegerahan pada kulitku. Dengan cepat lotion itu kuolesi
pada bvurungku. Lalu kuolesi pula pada vagina Shindy dan
selangkangannya. Kini Shindy kembali kupangku.
Vaginanya yang
sudah licin dan burungku yang sudah licin, berlaga. Kugesek-gesek.
Pantatnya yang mungil kumaju-mundurkan. Tangan kananku berada di
pantatnya agar mudah memaju-mundurkannya. Sebelah lagi tanganku memeluk
tubuhnya. Dadanya yang ditumbuhi tetek munguil itu merapat ke perutku.
Aku tertunduk untuk menjilati lehernya. Rasa licin akibat lotion membuat
Shindy semakin kuat memeluk leherku. Aku juga memeluknya erat. Kini
bungkahan lahar mau meletus dari burungku. Dengan cepat kuarahkan kepala
burungku ke lubang vaginanya. Setelah menempel dengan cepat tanganku
mengocok burung yang tegang itu. Dan crooot…crooot…crooot. Spermaku
keluar. Aku yakin, dia sperma itu akan muncrat di lubang vagina Shindy.
Kini tubuh Shindy kudekap kuat. Shindy membalas dekapanku. Nafasnya
semakin tak teratur.
“Ah…kak, Shindy mau pipis nih,” katanya.
“Pipis
saja,” kataku sembari memeluknya semakin erat. Shindy membalas
pelukanku lebih erat lagi. Kedua kakinya menjepit pinggangku, kuat
sekali. Aku membiarkannya memperlakukan aku demikian. Tak lama.
Perlahan-lahan jepitan kedua aki Shindy melemas. Rangkulannya pada
leherku, juga melemas. Dengan kasih sayang, aku mencium pipinya.
Kugendong dia ke kamar mandi. Aku tak melihat ada sperma di
selangkangannya. Mungkinkah spermaku memasuki vaginanya? Aku tak
perduli, karean aku tau Shindy belum haid.
Kupakaikan pakaiannya, setelah di kamar. Aku makai kain sarungku. Mari kita bobo, kataku. Shindy menganguk.
“Besok lagi, ya Kak,” katanya.
“Ya..besok
lagi atau nanti. Tapi ini rahasia kita berdua ya. Tak boleh diketahui
oleh siapapun juga,” kataku. Shindy mengangguk. Kucium pipinya dan kami
tertidur pulas di kamar.
Kami terbangun, setelah terdengar suara
bell. Shindy kubangunkan untuk membuka pintu. Mamanya pulang dengan
papanya. Sedang aku pura-pura tertidur. Jantungku berdetak keras. Apakah
Shindy menceritakan kejadian itu kepada mamanya atau tidak. Ternyata
tidak. Shindy hanya bercerita, kalau dia ketiduran di sampingku yang
katanya masih tertidur pulas.
“Sudah buat PR, tanya papanya.
“Sudah siap, dibantu kakak tadi,” katanya. Ternyata Shindy secara refleks sudah pandai berbohong. Selamat, pikirku.
Setelah
itu, setiap kali ada kesempatan, kami selalu bertelanjang. Jika
kesempatan sempit, kami hanya cipokan saja. Aku menggendongnya lalu
mencium bibirnya.
Hal itu kami lakukan 16 bulan lamanya, sampai aku jadi sarjana dan aku harus mencari pekerjaan.
Malam
perpisahan, kami melakukannya. Karena terlalu sering melaga kepala
burungku ke vaginanya, ketika kukuakkan vaginanya, aku melihat selaput
daranya masioh utuh. Masa depannya pasti masih baik, pikirku. Aku tak
merusak vagina mungil itu.
Sesekali aku merindukan Shindy,
setelah lima tahun kejadian. AKu tak tahu sebesar apa teteknya sekarang,
apakah dia ketagihan atau tidak. Kalau ketagihan, apakah perawannya
sudah jebol atau tidak. Semoga saja tidak.
About Metro UI Theme
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat. Duis aute irure dolor in reprehenderit...
0 komentar:
Post a Comment